INDONESIA MODERN (RIKCLEFS) - BAGIAN V. RUNTUHNYA NEGARA JAJAHAN 1942-1950
Sabtu, 18 April 2015
~
Bab 17. Revolusi,
1945-50
Revolusi yang menjadi alat
tercapainya kemerdekaan bukan hanya merupakan suatu kisah sentral dalam sejarah
Indonesia melainkan merupakan suatu unsur yang kuat di dalam persepsi bangsa
Indonesia itu sendiri.
Tidaklah mengeherankan apabila hasilnya bukanlah
munculnya suatu bangsa baru yang serasi namun suatu pertarungan sengit di
antara individu-individu dan kekuatan-kekuatan sosial yang bertentangan. Akan
tetapi, keyakinan bahwa itu merupakan jaman yang paling cemerlang dalam sejarah
Indonesia, bahkan hak Indonesia akan kemerdekaan ditunjukkan oleh
pengorbanan-pengorbanan yang dilakukan atas nama Revolusi memang banyak yang
mendukungnya.
Suatu pemerintahan pusat Republik
segera dibentuk di Jakarta pada akhir bulan Agustus 1945. Pemerintah ini
menyetujui konstitusi yang telah dirancang oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia sebelum menyerahnya Jepang. Akan tetapi, pihak angkatan laut Jepang
memperingatkan bahwa orang-orang Indonesia yang beragama Kristen di wilayahnya
tidak akan menyetujui peran istimewa Islam, sehingga Piagam Jakarta dan suatu
syarat bahwa kepala negara haruslah seorang yang beragama Islam tidak jadi
dicantumkan. Sukarno diangkat sebagai Presiden Republik ini dan Hatta sebagai
wakil Presiden, karena para politisi Jakarta yakin bahwa hanya merekalah yang
dapat berurusan dengan pihak Jepang. Seraya menanti pemilihan umum, yang dalam
kenyataanya belum akan diselenggarakan dalam waktu sepuluh tahun, maka
ditunjukkan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) untuk membantu Preside dan
komite-komite nasional serupa akan dibentuk di tingkat propinsi serta
karesidenan.
Dengan mulai tibanya sekutu guna
menerima penyerahan Jepang, maka muncullah tantangan-tantangan serius yang
pertama terhadap Revolusi. Pada awal tahun 1945 pihak Sekutu telah memutuskan
bahwa pasukan-pasukan Amerika akan memusatkan perhatian pada pulau-pulau di
Jepang. Dengan demikian, maka pada saat terakhir tanggung jawab atas Indonesia
dipindahkan dari Amerika kepada Inggris. Tentu saja Belanda ingin sekali
menduduki kembali Indonesia dan menghukum mereka yang telah bekerja sama dengan
pihak Jepang, tetapi pada tahun 1945 mereka tidak sanggup melakukan hal itu
sendiri, sehingga harapan mereka kini tertumpu pada pihak Inggris. Akan tetapi,
Inggris tidak menunjukkan bahwa mereka tidak berniat menaklukkan Indonesia
untuk Belanda. Inggris hanya ingin melepaskan tawanan-tawanan perang bangsa
Eropa dan menerima penyerahan pihak Jepang.
Dengan mulai munculnya
pasukan-pasukan Sekutu, maka semakin meningkatlah ketegangan-ketegangan di Jawa
dan Sumatera. Surabaya menjadi ajang pertempuran yang paling hebat selama
Revolusi, sehingga menjadi lambang perlawanan nasional. Panglima senior Jepang
di sana, Laksamana Madya Shibata Yaichiro, memihak Republik dan membuka pintu
gudang persenjataan Jepang kepada orang-orang Indonesia. Pada akhir bulan
Oktober dan awal bulan November para pemimpin Nahdatul Ulama dan Masyumi
menyatakan bahwa perang mempertahankan tanah air adalah Perang Sabil, kewajiban
yang melekat pada semua orang muslim. Para kyai dan murid-murid mereka mengalir
dari sekolah-sekolah pesantren di Jawa Timur ke Surabaya. Soetomo yang lebih
terkenal sebagai ‘Bung Tomo’, menggunakan radio setempat untuk menimbulkan
suasana semangat revolusi yang fanatik ke seluruh penjuru kota.
Pihak Republik kehilangan banyak
senjata dan tenaga manusia dalam pertempuran Surabaya, tetapi perlawanan mereka
yang bersifat pengorbanan tersebut telah menciptakan suatu lambang dan pekik
persatuan demi Revolusi. Pertempuran Surabaya juga merupakan titik balik bagi
Belanda, karena peristiwa itu telah menyodorkan kebanyakan dari mereka dalam
menghadapi kenyataan. Pada bulan Januari 1946 pendudukan kembali Belanda atas
Jakarta telah berjalan begitu jauh sehingga diputuskan untuk memindahkan ibu
kota republik ke Yogyakarta, yang tetap menjadi ibu kota Indonesia yang
merdeka.
Pada bulan-bulan pertama tahun 1946
partai-partai politik yang penting di masa revolusi telah dapat
diidentifikasikan. Partai Komunis (PKI) terbentuk kembali pada bulan 1945, dan
setelah mengalami banyak pertikaian di dalam tubuh sendiri dan terjadi suatu
bentrokan dengan satuan-satuan tentara Republik pada buan Februari 1946, pada
April 1946 PKI telah dikuasai oleh para pemimpin generasi tua yang berorientasi
Internasional ortodoks, yag kebayakan adalah mantan aktivis-aktivis dari tahun
1920-an yang kini bebas dari tahanan. Pada bulan November 1945 para politisi
Islam Modern perkotaan yang dipimpin oleh Sukiman Wirjosandjojo, Natsir, dan
lain-lainnya berhasil memperoleh kembali kekuasaan dari para pemimpin
Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama yang didukung oleh pihak Jepang. Partai
Nasional Indonesia (PNI) bangkit lagi pada bulan Januari 1946. Pada bulan-bulan
pertama tahun 1946 tekanan-tekanan terhadap pihak Republik maupun pihak Belanda
mulai meningkat. Perundingan-perundingan dengan pihak Belanda kini berada pada
tahap yang sulit.
Pada tanggal 12 November, di
Linggarjati, Belanda mengakui Republik sebagai kekuasaan de facto di Jawa, Madura, dan Sumatera, kedua pihak sepakat untuk
bekerja sama dalam pembentukan suatu negara Indonesia Serikat ysng berbentuk
federal, yang di dalamnya Republik akan menjadi salah satu di antara beberapa
negara-negara federal dan akan di kepalai oleh ratu Belanda.
Belanda mendapat kemajuan dengan usaha
mereka mencapai cara penyelesaian federal. Pihak Belanda terus maju dengan
rencana-rencana mereka membentuk negara-negara federal sedapat mungkin. Sebuah
negara Indonesia Timur didirikan dalam suatu konferensi di Denpasar (Bali) pada
bulan Desember 1946. Negara ini dinamakan Negara Indonesia Timur (NIT).
Pada
tanggal 20 Juli 1947 tengah malam pihak Belanda melancarkan ‘aksi polisional’
mereka yang pertama. PBB kini terlihat langsung dalam konflik tersebut, suatu
keterlibatan yang akhirnya akan menjebak pihak Belanda pada posisi diplomatik
yang sulit. Indonesia dan Australia sangat aktif mendukung Republik di dalam
PBB, di mana Uni Soviet juga memberikan dukungannya. Mereka mulai mendesak
negeri Belanda supaya mengambil sikap yang tidak begitu kaku, dan PBB menjadi
forum umum untuk memeriksa tindakan-tindakan Belanda. Keadaan ini justru
semakin memperbesar hasrat Belanda untuk menemukan cara penyelesaian secepatnya
di Indonesia.
Pada bulan Oktober 1947 dibentuk
Komisi Jasa-jasa Baik PBB yang beranggotakan wakil-wakil Amerika, Australia dan
Belgia untuk membantu perundingan-perundingan Belanda-Republik dalam mencapai
gencatan senjata yang baru. Pada bulan Januari 1948 tercapai suatu persetujuan
baru di atas kapal Amerika USS Renville di
pelabuhan Jakarta. Persetujuan ini mengakui suatu gencatan senjata di sepanjang
apa yang disebut sebagai ‘garis van Mook’.
Pada tanggal 18 Desember 1948
Belanda melancarkan ‘aksi polisional’ mereka yang kedua, yang merupakan bencana
militer maupun politik bagi mereka walaupun pada saat itu tampaknya mereka
memperoleh kemenangan dengan mudah. Pada tanggal 19 Desember Yogyakarta
diduduki dan para pemimpin politik termasuk presiden dan wakilnya ditangkap.
Dewan Belanda merasa tersinggung sekali, sesuatu yang memang diharapkan oleh
pemerintah Republik. Pada tnggal 22 Desember Amerika Serikat menghentikan
pemberian-pemberian dana bantuan selanjutnya kepada negeri Belanda yang
dimaksudkan untuk pengeluaran di Indonesia.
Belanda menerima himbauan PBB untuk
melakukan Konferensi Meja Bundar (KMB) bersama Republik. KMB diselenggarakan
pada tanggal 23 Agustus – 2 November 1949 di Den Haag. Disepakati Uni
Indo-Belanda dengan ratu Belanda sebagai pemimpinnya. Selain itu Republik di
berinama dengan RIS (Republik Indonesia Serikat). Untuk masalah Irian akan
diselesaikan satu tahun kemudian. Pada tanggal 27 Desember 1949 negeri Belanda
secara resmi menyerahkan kedaulatan atas Indonesia, tidak termasuk Irian Jaya,
kepada RIS.
Akhirnya, pada 17
agustus 1950 semua struktur konstitusional semasa tahun-tahun Revolusi secara
resmi dihapuskan. Dibentuk Republik Indonesia yang baru. Jakarta dipilih
sebagai ibu kota negara. Revolusi politik telah selesai.
0 komentar:
Posting Komentar